Our professional Customer Supports waiting for you! Contact now
Everyday: 09:00am - 10:00pm
By Invezto in Trading Insight on 21 Aug, 2025

Recency Bias: Si Penjahat Psikologis yang Sering Bikin Trader Tergelincir

Recency Bias: Si Penjahat Psikologis yang Sering Bikin Trader Tergelincir

Recency Bias: Si Penjahat Psikologis yang Sering Bikin Trader Tergelincir

Pernah merasa jadi jenius hanya karena trade terakhir kamu cuan? Atau langsung merasa jadi pecundang abadi karena posisi kemarin kena stop loss? Selamat, kamu baru saja berkenalan (lagi) dengan Recency Bias—si ninja tak terlihat yang bisa ngerusak strategi trading kamu tanpa kamu sadari.

Apa Itu Recency Bias?

Recency bias adalah kecenderungan otak kita untuk memberikan bobot lebih besar pada informasi terbaru dibandingkan data yang lebih lama. Intinya, kita lebih percaya apa yang baru saja terjadi dibanding keseluruhan cerita.

Contoh simpel? Kamu baru profit 3 hari berturut-turut, lalu tiba-tiba merasa jadi Warren Buffett versi forex. Padahal, portofolio kamu bulan lalu merah membara. Tapi ya sudahlah, yang penting sekarang cuan, kan? Nah, itulah si recency bias mulai beraksi.

Efeknya di Dunia Trading

  • Overconfidence: "Gue jago banget nih, fix abis ini full margin."
  • Overtrading: Karena trade terakhir untung, kamu mikir, “Kapan lagi nih, cuan berikutnya?”
  • Ganti strategi terus: Hari ini pakai breakout, besok pindah ke reversal, lusa jadi scalper... semua karena hasil terakhir bikin kamu galau.

Kenapa Recency Bias Bisa Jadi Masalah Besar?

Karena pasar itu jahat. Serius. Pasar nggak peduli kamu habis menang beruntun atau kalah telak. Kalau kamu ngambil keputusan hanya berdasarkan hasil terakhir, kamu ibarat naik roller coaster tanpa sabuk pengaman—siap mental mental (dan saldo mental).

Recency bias bikin kamu lupa data jangka panjang, ngelupain plan, dan kadang—parahnya—bikin kamu percaya hal-hal absurd kayak “market pasti balik arah sekarang” hanya karena kemarin-kemarin begitu.

Contoh Recency Bias dalam Trading

1. Dendam Masa Lalu yang Belum Usai

Kamu sell EUR/USD, kena SL. Lalu kamu bilang, “Oke, sekarang pasti naik!” dan kamu buy. Eh, kena SL juga. Tapi kamu yakin, “Pasti naik lah, nggak mungkin turun terus!” Dan begitu seterusnya. Kamu lebih percaya kejadian barusan daripada pola nyata di chart.

2. Terkecoh oleh "Kemenangan Beruntun"

Setelah menang 5 kali berturut-turut, kamu merasa nggak mungkin kalah. Kamu lupa bahwa probabilitas tetap berlaku, dan pasar bisa menghukum dengan kejam kalau kamu terlalu sombong. Tapi ego kamu sudah keburu di awang-awang, jadi... good luck.

3. Data Ekonomi yang Baru Keluar

Baru keluar data NFP bagus, kamu langsung beli USD, padahal tren besar masih bearish. Tapi ya, karena "berita tadi pagi bagus," kamu mengabaikan semua data sebelumnya. Si recency bias udah nguasain kepala kamu total.

Bagaimana Menghindari Recency Bias?

Sekarang saatnya kita jadi manusia rasional (walaupun agak susah sih buat trader). Tapi tenang, ada beberapa trik buat ngurangin efek recency bias dalam trading kamu.

1. Gunakan Jurnal Trading

Catat semua posisi kamu, kenapa kamu entry, hasilnya, dan apa pelajarannya. Dengan begitu, kamu bisa lihat kinerja dari sudut pandang jangka panjang, bukan hanya “apa yang barusan terjadi.”

2. Backtest dan Statistik

Daripada percaya intuisi sesaat, mending kamu percayakan keputusan kamu pada data. Lakukan backtest, hitung win rate, risk-reward, dan rata-rata drawdown. Kalau strategi kamu jelek, ya tinggal ganti—tapi dengan alasan yang logis, bukan karena trade terakhir zonk.

3. Disiplin dengan Rencana

Punya trading plan itu bukan buat pajangan. Kalau kamu udah punya aturan masuk, keluar, dan money management, ya taatlah. Jangan tiap kali habis cuan langsung "eksperimen gila" karena lagi PD banget.

4. Time Out: Jauhkan Diri Setelah Trade

Setelah posisi ditutup, apalagi kalau emosinya tinggi (baik karena profit gede atau loss parah), ambil waktu buat jeda. Jangan langsung buka chart lagi. Jangan langsung balas dendam. Jangan jadi hero yang malah nyemplung tanpa logika.

Recency Bias vs. Pengalaman: Mana Lebih Penting?

Pertanyaan bagus. Tapi sayangnya, pengalaman pun bisa kalah oleh recency bias. Bahkan trader senior bisa tergelincir kalau terlalu percaya pada “yang baru saja terjadi.” Jadi, bukan soal umur atau jam terbang, tapi soal kesadaran dan pengendalian diri.

Recency Bias + Emosi = Kombinasi Mematikan

Trading udah cukup susah dengan emosi seperti fear dan greed. Kalau ditambah recency bias? Wah, bisa-bisa kamu jadi trading pakai feeling, bukan strategi. Dan kita semua tahu feeling itu sering ngaco, apalagi kalau dompet lagi panas dingin.

Kesimpulan: Sadari, Kendalikan, dan Evaluasi

Recency bias itu licik. Dia nggak kelihatan, tapi efeknya nyata. Dia bikin kamu percaya kalau apa yang baru terjadi akan terus berulang. Padahal, pasar punya caranya sendiri untuk ngerjain siapa pun yang terlalu percaya diri.

Jadi, apa langkah kamu selanjutnya?

  • Kenali bias ini dalam pola pikir kamu sendiri.
  • Terapkan disiplin dalam eksekusi trading.
  • Evaluasi strategi berdasarkan data nyata, bukan hasil kemarin sore.

Dan kalau kamu merasa artikel ini membuka mata (atau menampar realita), jangan pelit buat follow akun media sosial kami di INVEZTO. Di sana kamu bakal dapet info, edukasi, dan tips trading yang nggak cuma teoritis, tapi juga penuh kenyataan (dan kadang sedikit sindiran manis).

Follow kami sekarang—sebelum recency bias kembali menyerang!

You may also like

Related posts